Isu risiko koreksi transfer pricing kini semakin sering menghantui perusahaan di Bandung, terutama yang terlibat dalam transaksi afiliasi baik dalam negeri maupun lintas negara. Seiring meningkatnya pengawasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap praktik transfer pricing, potensi sengketa transfer pricing makin terbuka lebar, terutama bagi bisnis manufaktur, teknologi, distribusi, dan jasa outsourcing yang banyak beroperasi di kota ini.
Mengapa Transfer Pricing Dipantau Ketat?
Transfer pricing merupakan mekanisme normal dalam transaksi antar perusahaan afiliasi yang menjual barang, jasa, atau aset satu sama lain. Namun, isu muncul ketika harga transaksi tersebut tidak mencerminkan arm’s length principle (ALP) prinsip kewajaran harga yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan dikonsolidasikan dalam OECD Transfer Pricing Guidelines.
Pengawasan ketat terhadap transfer pricing menjadi perhatian otoritas pajak global karena praktik pergeseran laba (profit shifting) dapat mengurangi basis pajak suatu negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, dokumentasi transfer pricing yang memadai dan pembuktian kewajaran harga menjadi fokus pemeriksaan.
Di wilayah seperti Bandung, yang memiliki konsentrasi industri manufaktur, tekstil, F&B, dan layanan IT outsource, pola transaksi antar entitas grup baik dengan perusahaan induk asing maupun sesama entitas di dalam negeri sering menghadirkan tantangan transfer pricing yang memerlukan perhatian operasional dan kepatuhan pajak.
Bagaimana DJP Menilai Risiko Transfer Pricing?
Sejak diterbitkannya PER-22/PJ/2013 dan diperkuat melalui PMK No. 213/PMK.03/2016 tentang kewajiban dokumentasi transfer pricing (TP Doc), DJP memiliki alat analisis yang jauh lebih canggih. Setidaknya ada tiga indikator risiko yang sering memicu pemeriksaan, yaitu:
1. Margin perusahaan jauh di bawah industri
Ketika laba perusahaan jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata industri sejenis, DJP akan melihatnya sebagai sinyal awal adanya ketidakwajaran harga dalam transaksi afiliasi. Kondisi ini dianggap berpotensi menunjukkan praktik pengalihan laba, terutama jika penurunan margin tidak didukung alasan bisnis yang kuat seperti penurunan permintaan atau kenaikan biaya operasional.
2. Proporsi transaksi afiliasi sangat besar
Jika sebagian besar transaksi perusahaan dilakukan dengan entitas dalam satu grup, DJP menganggap struktur tersebut memiliki potensi manipulasi harga yang lebih tinggi. Semakin dominan transaksi afiliasi, semakin besar perhatian DJP untuk memastikan bahwa nilai transaksi sesuai prinsip kewajaran (arm’s length) dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi pajak di Indonesia.
3. Dokumentasi Transfer Pricing tidak lengkap
Ketidaklengkapan dalam Local File, Master File, atau Country-by-Country Report (CbCR) sering menjadi pemicu koreksi bahkan sebelum DJP masuk ke analisis mendalam. Dokumen yang tidak sesuai PMK 213 menunjukkan bahwa perusahaan tidak mampu membuktikan kewajaran transaksi, sehingga DJP berhak membuat penyesuaian berdasarkan data pembanding yang mereka miliki.
Dalam pemeriksaan transfer pricing, Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya menilai besaran harga atau margin transaksi. Pemeriksaan juga mencakup analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR analysis) untuk memastikan bahwa struktur transaksi mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Apabila profil fungsi dan risiko perusahaan tidak konsisten dengan imbal hasil yang diterima, DJP berwenang melakukan koreksi sesuai prinsip kewajaran harga.
Risiko Koreksi Transfer Pricing yang Paling Sering Terjadi
Koreksi transfer pricing tidak hanya mengenai harga yang dinilai tidak wajar. Menurut berbagai studi dan kasus sengketa, risiko berikut adalah yang paling sering dialami perusahaan:
1. Penolakan Metode Penentuan Harga
Kadang perusahaan menggunakan metode TNMM atau Comparable Uncontrolled Price (CUP), tetapi DJP tidak setuju karena pembanding dianggap tidak sebanding. Perbedaan metode saja bisa memicu koreksi besar.
2. Pembanding yang Tidak Konsisten
Data pembanding dari database komersial wajib disesuaikan dengan karakter industri Indonesia. Jika tidak, DJP dapat menilai hasil analisis tidak valid.
3. Ketidaksesuaian Fungsi, Risiko, dan Aset
Jika perusahaan hanya bertindak sebagai distributor berisiko rendah, tetapi mencatat margin terlalu tinggi atau terlalu rendah, DJP akan mempertanyakan kewajarannya.
4. Transaksi Jasa Intra-Grup yang Tidak Didukung Bukti Manfaat
Banyak perusahaan di Bandung membayar service fee kepada kantor pusat luar negeri tanpa dokumentasi benefit test. Ini salah satu koreksi terbesar.
5. Royalti dan pembayaran intangible yang dianggap tidak wajar
Jika merek atau teknologi tidak terbukti memberi manfaat signifikan, pembayaran royalti bisa dikoreksi.
6. Potensi Sengketa Transfer Pricing Bertahun-Tahun
Jika perusahaan menolak koreksi, proses sengketa bisa berlangsung lama mulai dari keberatan, banding, hingga Mahkamah Agung.
Kasus-Kasus Sengketa Transfer Pricing: Cermin bagi Perusahaan di Bandung
Sengketa transfer pricing di Indonesia menunjukkan bahwa kepatuhan formal saja tidak selalu cukup tanpa dukungan dokumentasi dan justifikasi ekonomi yang memadai. Dalam berbagai putusan Pengadilan Pajak, koreksi atas transaksi dengan pihak afiliasi sering dipertahankan karena wajib pajak tidak mampu membuktikan bahwa harga atau imbalan yang digunakan telah memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle).
Beberapa putusan Pengadilan Pajak memperlihatkan bahwa koreksi dapat terjadi ketika margin laba tidak sejalan dengan profil fungsi, aset, dan risiko usaha, atau ketika metode pembanding yang digunakan tidak didukung data yang relevan. Selain itu, dalam sengketa terkait pembayaran royalti, Pengadilan Pajak juga menegaskan bahwa biaya hanya dapat diakui secara fiskal apabila wajib pajak mampu membuktikan manfaat ekonomi yang nyata, termasuk kepemilikan atau pemanfaatan hak kekayaan intelektual yang jelas.
Putusan-putusan tersebut menegaskan bahwa tanpa transfer pricing documentation yang lengkap, analisis pembanding yang memadai, serta argumentasi manfaat ekonomi yang dapat diuji, perusahaan sangat rentan terhadap koreksi fiskal. Oleh karena itu, bagi perusahaan di Bandung yang memiliki transaksi antar entitas grup, penguatan dokumentasi dan konsistensi analisis kewajaran menjadi pondasi utama dalam menghadapi pemeriksaan maupun potensi sengketa transfer pricing.
Bagaimana Mengurangi Risiko Koreksi Transfer Pricing?
Perusahaan harus menyiapkan dokumentasi TP Doc yang kuat, memastikan profil bisnis konsisten, melakukan benchmarking yang sesuai industri, serta menggunakan metode penentuan harga yang defensible secara ekonomi. Melakukan transfer pricing health check tahunan juga sangat direkomendasikan, terutama bagi perusahaan manufaktur dan distributor di Bandung yang rentan menjadi target pemeriksaan. Perusahaan perlu memastikan bahwa kebijakan harga intra-group selaras dengan kondisi pasar lokal serta risiko usaha yang dikelola.
Baca juga: Kewajiban Transfer Pricing Documentation bagi Wajib Pajak di Bandung
FAQ’s
Risiko koreksi transfer pricing adalah potensi penyesuaian oleh DJP terhadap harga atau margin transaksi afiliasi karena dianggap tidak sesuai prinsip kewajaran.
Karena DJP menilai transaksi afiliasi dapat menggeser laba sehingga perlu diuji kewajarannya berdasarkan ALP dan ketentuan Pasal 18 UU PPh.
Semua perusahaan yang melakukan transaksi dengan pihak berelasi, terutama yang beroperasi di industri manufaktur, distribusi, IT, dan jasa.
Saat pemeriksaan pajak, permohonan restitusi, atau ketika DJP menilai ada ketidakwajaran margin secara historis.
Mulai dari proses keberatan di DJP, banding di Pengadilan Pajak, hingga kasasi di Mahkamah Agung.
Dengan menyiapkan dokumentasi TP Doc lengkap, analisis benchmarking yang tepat, dan konsistensi fungsi risiko aset perusahaan.
Kesimpulan
Risiko koreksi transfer pricing bukan sekadar isu teknis, melainkan ancaman nyata bagi arus kas dan reputasi perusahaan di Bandung. Kesalahan kecil dalam dokumentasi atau analisis nilai wajar dapat berkembang menjadi sengketa transfer pricing yang panjang dan melelahkan. Namun risiko ini dapat dikelola dengan strategi yang tepat memahami regulasi, menyiapkan dokumentasi yang solid, melakukan review berkala, dan menjaga konsistensi model bisnis. Dengan pendekatan tersebut, perusahaan dapat bergerak lebih aman, lebih pasti, dan terhindar dari koreksi bernilai besar.
Lindungi bisnis Anda dari risiko transfer pricing sejak awal dengan pendampingan konsultan pajak berpengalaman siapkan dokumentasi, lakukan review rutin, dan pastikan strategi pajak Anda solid serta patuh hukum.
Jasa pembuatan Tp doc di Bandung dan sekitar: call/WA 08179800163