Di tengah berkembangnya industri kreatif, teknologi, manufaktur, hingga pariwisata, banyak perusahaan di Bandung kini membeli jasa dari luar negeri. Mulai dari jasa konsultan, software development, digital marketing, sampai jasa teknis yang mendukung produksi. Namun banyak juga yang belum memahami bahwa transaksi tersebut dapat menimbulkan kewajiban pajak jasa luar negeri atau sering disebut withholding tax jasa luar negeri. Tidak sedikit perusahaan akhirnya menghadapi sanksi karena salah menafsirkan aturan.
Bila bisnis Anda menggunakan jasa asing langsung atau lewat platform digital artikel ini akan membantu memahami risiko, kewajiban, serta cara patuh. Baca sampai tuntas agar tidak terjebak kesalahan pajak internasional.
Mengapa Jasa Luar Negeri Dipajaki? (Konteks Regulasi)
Dasar hukum utama yang mengatur pajak atas penghasilan pihak luar negeri adalah UU PPh, khususnya Pasal 26, yang mewajibkan pemotongan pajak sebesar 20% atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dari Indonesia, kecuali bila ada tarif lebih rendah melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa setiap pembayaran jasa dari subjek pajak luar negeri dianggap sebagai penghasilan yang bersumber dari Indonesia apabila jasa tersebut dimanfaatkan di Indonesia, meskipun dikerjakan di luar negeri. Tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 26 diatur dalam PER-25/PJ/2018 dan panduan resmi DJP.
Jenis Jasa Luar Negeri yang Umumnya Dipotong Pajak
Di Bandung, penggunaan jasa dari luar negeri semakin meningkat, terutama di sektor manufaktur, F&B, perhotelan, fintech, dan startup digital. Berbagai jenis jasa mulai dari jasa teknis dan engineering, konsultan hukum atau manajemen, pelatihan maupun seminar online, layanan periklanan digital, penyewaan server atau cloud services, hingga jasa profesional lain yang memberikan manfaat ekonomi di Indonesia sering kali menimbulkan kewajiban pajak tertentu.
Meskipun pembahasan ini tidak dibuat dalam banyak poin, pemahaman terhadap ragam jasa tersebut tetap penting karena setiap kategori memiliki perlakuan pajak yang berbeda, terutama terkait penentuan beneficial owner, klasifikasi jasa dalam P3B, serta dokumen pendukung yang wajib disiapkan.
Withholding Tax: Kewajiban yang Sering Terlewat oleh Perusahaan Bandung
Salah satu kesalahan paling umum adalah asumsi bahwa pajak hanya dipotong bila kontrak menyebutkan demikian. Padahal, menurut aturan DJP, pemotongan PPh 26 adalah kewajiban perusahaan Indonesia, bukan pilihan. Bila tidak dipotong, risiko sanksi akan menimpa pihak Indonesia, bukan pihak asing.
Tarif normal PPh Pasal 26 adalah 20% dari nilai bruto pembayaran jasa kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Tarif ini dapat lebih rendah apabila negara asal penyedia jasa memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia. Sebagai contoh, berdasarkan P3B Indonesia – Singapura, tarif untuk jenis jasa tertentu dapat diturunkan, seperti kategori royalti atau independent personal services, asalkan perusahaan dapat menyediakan Certificate of Domicile (CoD) atau formulir DGT-1/DGT-2 yang sah. Jika dokumen tersebut tidak diserahkan, tarif normal 20% tetap berlaku sesuai ketentuan Direktorat Jenderal Pajak.
Pandangan Ahli: Tantangan Perusahaan dalam Mengelola Pajak Jasa Luar Negeri
Beberapa praktisi pajak menilai bahwa tantangan terbesar perusahaan dalam mengelola pajak atas jasa luar negeri bukanlah sekadar persoalan tarif, melainkan ketidaksiapan administrasi yang mendasar. Banyak kasus menunjukkan bahwa perusahaan gagal mencantumkan klausul pajak dalam kontrak, tidak meminta Certificate of Domicile (CoD) sejak awal transaksi, salah mengklasifikasi jenis jasa, atau bahkan berasumsi bahwa invoice dari luar negeri otomatis bebas PPN dan PPh. Kombinasi kesalahan administratif dan miskonsepsi ini membuat perusahaan rentan terhadap koreksi pajak yang besar dan sengketa yang sebenarnya dapat dicegah.
Kesalahan dalam pemotongan PPh luar negeri sering terjadi karena perusahaan tidak memeriksa dengan benar apakah pembayaran jasa termasuk service fee, technical fee, atau royalty. Kesalahan klasifikasi ini dapat menyebabkan pemotongan pajak yang tidak tepat dan berpotensi disengketakan oleh pihak fiskus.
Implikasi PPN bagi Jasa Luar Negeri
Selain PPh Pasal 26, banyak perusahaan di Bandung yang lupa bahwa pemanfaatan jasa luar negeri juga dapat dikenai PPN Impor Jasa. Berdasarkan ketentuan UU PPN yang diperbarui melalui UU HPP, jasa yang berasal dari luar daerah pabean dan dimanfaatkan di Indonesia merupakan objek PPN dengan tarif umum 11%. PPN atas pemanfaatan jasa luar negeri ini tidak dipungut oleh pihak luar negeri, tetapi disetor sendiri oleh perusahaan Indonesia melalui mekanisme self-assessed VAT sebagai bagian dari kewajiban PPN.
Konsekuensinya, walau penyedia jasa berada di Amerika Serikat, Jepang, Singapura, atau negara lain, PPN tetap terutang apabila jasa tersebut dipakai di Bandung. Banyak perusahaan teknologi dan startup lokal yang salah kaprah menganggap penggunaan aplikasi berbasis subscription tidak terkena PPN, padahal aturannya jelas menyatakan sebaliknya.
Konsekuensi Bila Perusahaan Tidak Mematuhi Aturan
Risiko terbesar ketika perusahaan tidak mematuhi ketentuan pajak atas jasa luar negeri adalah timbulnya sanksi administrasi yang signifikan, seperti kurang bayar PPh Pasal 26 yang disertai sanksi bunga sesuai ketentuan UU KUP, kewajiban menyetor PPN atas pemanfaatan jasa luar negeri beserta sanksi administrasi, serta koreksi pemeriksaan akibat ketidaklengkapan dokumen. Ketidakpatuhan ini juga berpotensi berujung pada sengketa pajak yang menguras waktu dan biaya perusahaan.
Dalam banyak kasus, DJP bahkan melakukan penetapan retroaktif selama beberapa tahun ke belakang jika ditemukan pola transaksi berulang dengan penyedia jasa asing yang tidak dipotong pajaknya. Situasi ini sering terjadi di sektor manufaktur dan layanan digital di Bandung, terutama ketika perusahaan bermitra jangka panjang dengan vendor luar negeri tanpa administrasi perpajakan yang memadai.
Baca juga: Risiko Pajak bagi Perusahaan di Bandung yang Bertransaksi dengan Luar Negeri
FAQs
Pajak jasa luar negeri adalah pajak atas pembayaran jasa kepada penyedia jasa asing yang manfaatnya dirasakan di Indonesia. Pajak ini meliputi PPh 26 dan PPN Impor Jasa sesuai UU PPh dan UU PPN.
Karena UU PPh mengharuskan perusahaan Indonesia memotong pajak atas penghasilan pihak luar negeri dari sumber Indonesia. Jika tidak dipotong, perusahaan Indonesia yang akan dikenai sanksi.
Penyedia jasa luar negeri (sebagai penerima penghasilan) dan perusahaan Indonesia (sebagai pemotong pajak). Namun tanggung jawab penghitungan dan penyetoran ada pada perusahaan Indonesia.
Terutang ketika pembayaran dilakukan, manfaat jasa diterima, atau invoice diterbitkan mana yang lebih dahulu, sesuai ketentuan pemotongan PPh 26 dan pemanfaatan jasa PPN.
Diatur dalam UU PPh Pasal 26, PER-25/PJ/2018, serta P3B Indonesia dengan negara mitra. PPN Impor Jasa diatur dalam UU PPN dan PMK terkait pemanfaatan jasa luar negeri.
Dengan mengecek jenis jasa, meminta CoD dari penyedia jasa, menghitung tarif PPh 26 berdasarkan P3B, menyetor PPN Impor Jasa, dan mencatat semuanya dalam kontrak serta bukti pembayaran.
Kesimpulan
Pajak atas jasa luar negeri adalah aspek penting bagi perusahaan di Bandung yang bekerja dengan vendor internasional. Kesalahan menghitung atau tidak memotong withholding tax jasa luar negeri dapat berdampak besar, mulai dari koreksi pemeriksaan hingga denda yang tidak kecil. Dengan memahami aturan PPh 26, PPN Impor Jasa, ketentuan P3B, dan prinsip benefit test, perusahaan dapat mengelola transaksi internasional secara aman dan efisien. Kepatuhan bukan hanya soal menghindari sanksi, tetapi memastikan bisnis tetap kompetitif dan terhindar dari risiko hukum jangka panjang.
Pastikan transaksi jasa luar negeri Anda aman dari risiko pajak. Konsultasikan struktur dan kewajibannya sekarang, supaya bisnis tetap aman dan bebas dari sanksi.
Jasa konsultasi pajak di Bandung dan sekitar yang bertransaksi dengan luar negeri: call/WA 08179800163